Selama ini sudah melakukan banyak
usaha ini dan itu dalam waktu yang tidak singkat. Ikhtiar A dicoba, ikhtiar B
diperjuangkan, juga berusaha tidak kalah keras untuk ikhtiar C. Di lain cerita
ada juga mereka yang fokus pada satu tujuan. Pelan-pelan merintis usaha dalam
jangka waktu yang cukup lama dan konsisten.
Tips ini dan itu sudah diterapkan. Evaluasi dilaksanakan. Tapi apa?
Hasilnya tetap gitu-gitu aja. Sedangkan melihat pencapaian orang lain sudah
sangat jauh. Tampaknya mudah sekali bagi mereka meraup pundi-pundi keuntungan
itu.
Lantas, apa yang salah dari diri kita? Kenapa finansial rasanya
gini-gini aja? Jangankan pendapatan naik, pas-pasan terus iya.
Jika kamu mengalami gambaran kondisi
seperti di atas, maka tulisan ini memang ditujukan untukmu. Fokus tulisan ini
adalah pada finansial, bukan rezeki.
Sebab rezeki itu memiliki cakupan
arti yang jauh lebih luas wujudnya. Sedangkan tulisan ini dilatarbelakangi oleh
banyaknya keluhan orang-orang perihal pendapatan/pemasukan/keuangan/finansial/materi
atau apapun semacam itu yang berada di posisi ‘gitu-gitu aja’. Padahal ibadah dan sedekah pun sudah digiatkan
juga.
Buat kamu yang akan meninggalkan
komentar seperti “Usahanya aja yang
kurang”, “Belum tau rahasia dan tips triknya, sih”, “Mungkin sedekahnya kurang”,
“Coba ibadahnya dibenerin”, atau yang lain semacam itu. Silakan berhenti
membaca sampai di sini. Tulisan ini hanya ditujukan untuk orang-orang yang
memiliki pola pikir dan hati terbuka.
Porsi rezeki sudah diatur adil, rata, dan tepat waktu oleh Allah
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua
rezekinya dijamin Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat
penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuz).” (Q.S
Hud : 6)
Bahasa sederhana yang bisa kita
pakai untuk membahas bagian ini adalah kuota. Rezeki setiap manusia itu sudah
ada jatah kuotanya masing-masing. Dan Allah membagi kuota rezeki itu jauh
sebelum kita dilahirkan bersamaan dengan takdir, jodoh, dan kematian. Kuota rezeki
semasa kita hidup ini akan Allah berikan sesuai kadar kebutuhan kita.
Nah, kadar pembagian kuota rezeki
sesuai kebutuhan berdasarkan pengetahuan Allah Yang Maha Luas. Bukan berdasar
apa yang kita ketahui sebagai manusia. Allah SWT mempertegas hal ini dalam
firman-Nya :
“Milik-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki
dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S Asy Syura : 12)
Dari ayat di atas juga dapat kita
pahami bahwa Allah memiliki ketetapan untuk menentukan siapa yang menurut-Nya
pantas mendapat rezeki lebih, juga siapa yang menurut-Nya pantas mendapat
rezeki secukupnya. Kepantasan ini berdasarkan kemampuan masing-masing manusia.
Jika kita tarik konsep rezeki ini pada pembahasan finansial atau materi,
kemampuan yang dimaksud dalam hal ini bisa tentang kemampuan mengelola keuangan,
managemen hati, sikap rendah hati, tidak boros, atau perbuatan riya.
Siapa yang tahu, kan? Barangkali
justru dengan kesederhanaan materi atau finansial kamu lebih mudah mensyukuri
hal-hal kecil dan lebih ringan mengeluarkan sedekah. Selain itu bisa menjadi
pribadi yang hemat dan terhindar dari sifat sombong. Jika tiba-tiba kamu diberi
rezeki berlimpah ruah apakah ada jaminan kamu akan memiliki sifat-sifat terpuji
tadi? Sedangkan hati manusia itu mudah sekali terbolak-balik. Dan Allah lebih
tahu apa yang terbaik untuk kita.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang
menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan.” (Q.S Az Zukhruf : 32)
Sebanyak apapun, kodrat manusia selalu merasa kurang
Jika mengatakan seluruh manusia
terlalu berlebihan, maka kita sebut saja sebagian orang pernah mengalami hal
seperti ini. Tidak peduli sebanyak apapun rezeki dititipkan dia selalu merasa
kurang. Hari ini diberi lebih dari kemarin, tapi tetap merasa belum mampu
menutup kebutuhan. Besok diberi lebih banyak lagi, masih saja mengeluh untuk
kebutuhan yang lain.
Pernahkah merasa seperti ini?
Lantas, kapan kita bisa merasa cukup?
Cukup itu terletak pada rasa syukur kita
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’.” (Q.S Ibrahim :
7)
Sejauh apa kita bisa bersyukur
atas nikmat yang diberikan oleh Allah, maka di situlah letak rasa cukup kita.
Jika selama ini kita selalu saja merasa kurang, coba koreksi lagi. Jangan-jangan
selama ini kita lalai untuk bersyukur. Atau mungkin bibir kita mengucap syukur,
tapi hati kita tidak sungguh-sungguh mengamalkan rasa syukur itu.
Kadangkala, materi berlimpah
selalu terasa kurang karena minimnya rasa syukur. Sedangkan sedikit rezeki
terasa begitu nikmat disebabkan luasnya rasa syukur seseorang.
Pantang meragukan jaminan Allah
Segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini bersumber dari Zat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT. Hal itu tentu
saja tidak terkecuali rezeki untuk seluruh makhluk-Nya. Jika kita meragukan
datangnya rezeki tersebut, maka tidak ada bedanya dengan kita meragukan Allah
SWT.
Sampai pada paragraf ini semoga hati
kita mampu meluaskan rasa syukur. Meski berapa pun nikmat dari Allah SWT yang
dititipkan kepada kita. Catatlah bahwa rasa cukup itu tidak selalu bergantung
pada sedikit banyak materi yang kita miliki. Tapi, ditentukan dari kualitas
syukur kita atas setiap rezeki yang ada.


No comments:
Post a Comment