Sekilas Info

Sekitar lebih dari 30 tulisan dalam rentang tahun 2018-2019 diunpublish Author dari blog ini. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba judul favoritmu hilang, ya. Hehe ...

Bukan Satu-satunya

May 25, 2023 0 Comments


Oleh : Al Ghumaydha'


Ternyata aku memang tak pernah sungguh kau perjuangkan. Bagimu aku hanyalah salah satu di antara sekian pilihan. Ketika aku dengan bodoh mengira, bahwa hanya aku satu-satunya tujuan. Tampak sekali begitu mudah kau menetapkan hati saat aku susah payah menyembuhkan diri.


Barangkali kau tak salah. Hanya aku yang sedikit dungu pernah berharap dengan terlalu. Sejak semua tampak abu-abu, semestinya aku buru-buru menyelesaikan perasaan. Bukan justru kian dalam menaruh harapan. Rela menenggelamkan diri pada luka yang tak berkesudahan.


Lucu sekali menertawakan diri sendiri. Betapa menyedihkan aku yang termakan janji. Seharusnya sejak awal aku tahu diri. Memenangkanmu bukanlah kepantasanku, melainkan hanya mimpi-mimpi.


Hanya saja tak mengapa. Meski tampak bodoh dan menyedihkan. Aku sungguh tak menyesali apapun. Biarlah kau jadi episode dalam buku-buku yang akan aku buka kembali di masa depan. Tentu saja hanya untuk aku baca, pahami, renungkan, dan tak akan terulang.


Mungkin ada yang sedikit tidak baik-baik saja. Namun, hidup tetap harus berjalan meski dengan atau tanpamu. Sekali saja biar aku katakan sesuatu yang jahat. Aku terlalu berharga untuk sosok sepertimu. Bersamaku kau menabung impian, namun dengan dia kau pergi mewujudkan.


Benar-benar tak ada air mata. Biar bagaimanapun, selamat merayakan bahagia. Walau bukan denganku kau melangitkan asa.

Jika Bukan Kamu

June 17, 2022 0 Comments


Oleh : Al Ghumaydha'


Setelah kau memenangkan segala tentangku. Walau sekian purnama telah ditelan pagi yang sama setiap harinya. Tetap saja rumit isi kepala tak henti bekerja. Aku selalu mencari kesibukan yang tak perlu. Menerka-nerka apakah akan sama jadinya jika di kehidupan masa lalu kau dan aku memilih arah yang berbeda.


Menjadi satu tubuh denganmu adalah masa depan yang tak pernah terlukis di kanvas diariku. Skenario semesta memang semisterius itu dalam bekerja. Jika ada hari di masa lampau yang saling kita lewatkan. Aku memegang keyakinan bahwa bertemu denganmu tak akan menjadi takdirku. Barangkali kita asing satu sama lain. Namaku bagai sehelai daun gugur yang terbang tanpa kau hiraukan.


Namun, tidak berlaku dalam kamus sudut pandangmu. Kau membuat ruang pikirku bekerja lebih kompleks. Seperti katamu, kita adalah satu ketetapan jauh sebelum bunga-bunga daisy bersemi dengan cantiknya. Sebelum embun sempat menyetubuhi ujung rerumputan di pagi buta. Atau sebelum sejarah tinggal jadi cerita di buku-buku perpustakaan.


Apakah langkahmu menuju pada kesempatan lain. Atau perjalananku yang melewatkan sebagian momen. Tak mengubah segores pun apa yang telah dituliskan tentang kita oleh semesta. Bagaimana pun jalan yang kau dan aku tempuh, takdir akan tetap bekerja dengan caranya sendiri untuk mempertemukan sepasang hati.


Tak berlaku segala andai tentang hal-hal lain yang tak terjadi. Sejauh apapun berlari mengingkari takdir, kau dan aku tetap jadi satu. Pertanyaan tentang bagaimana jika aku tak bertemu denganmu, tak akan pernah terjawab sepanjang episode. Sebab, salah satu alasan kita terlahir di jagat semesta ini untuk saling menemukan satu sama lain.

Sketsa Ketetapan - Memetik Hikmah untuk Memulai Kisah

February 26, 2022 0 Comments




Jawaban Istikhoroh


Maydha—Saya mengirim CV ta'aruf balik untuk Kak Vidi dengan perasaan tak terdefinisi. Saya sungguh tak mengerti kenapa pada akhirnya bisa sampai di fase ini. Proses ini mengalir begitu saja. Saya benar-benar tak bisa memahami perasaan saya sendiri ketika itu. Semuanya terasa datar dan saya hanya mengikuti alur tanpa protes. Saya tak memiliki sebersit perasaan apapun atas proses dengan Kak Vidi, entah itu sukacita maupun kecewa. Tapi, satu hal yang mampu saya pastikan. Hati saya merasa tenang selama menjalani proses sampai di fase mengirim CV ta'aruf untuknya. Itu cukup meyakinkan saya, bahwa semua ini karena bimbingan Allah. Sebab, sejak awal saya sudah pasrahkan urusan ini pada Allah. Saya minta pada Allah agar menuntun saya pada pilihan terbaik menurut-Nya. Jika memang tak berjodoh, saya memohon agar kami dijauhkan dengan cara baik tanpa harus ada yang tersakiti. Tapi qodarullah, semuanya berlalu tanpa aral melintang yang berarti. Bukan melalui mimpi atau pertanda khusus, cukup saya yakini bahwa ketenangan hati selama melanjutkan proses ini adalah cara Allah menjawab doa-doa istikhoroh saya.


Tiga Puluh Satu Pertanyaan


Vidi—Dua hari setelah saya mengirim jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan, akhirnya Maydha balas mengirim CV ta'aruf miliknya. Saat itu saya merasa proses kami lumayan berjalan lancar. Belum ada tanda-tanda saya akan ditolak. Ketika membaca CV Maydha, saya merasa dia menjawab hampir semua kriteria calon istri idaman saya. Bahkan, saya sampai merasa CV ini dibuat memang khusus untuk saya. Saya pun semakin yakin, bahwa dia memang jodoh saya. Saya ingin segera menyampaikan ini sekaligus berkonsultasi ke murobbi. Saya sudah membuat janji dengan beliau. Tetapi qodarullah di hari janjian kami, murobbi saya sakit. Terpaksa saya batal menyampaikan proses ini pada beliau. Sebab saat itu saya benar-benar ingin menyampaikan proses ini secara langsung. Bukan sekadar melalui pesan WhatsApp.


Setelah membaca CV Maydha, saya merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuknya. Saya juga ingin tahu lebih detail terkait pola pikirnya. Terkumpullah 31 pertanyaan yang sebagian besar terinspirasi dari pertanyaannya untuk saya kemarin. Sebab, saya merasa beberapa pertanyaan tersebut cukup relevan untuk ditanyakan balik.


Bukan Menikahi Masa Lalu


Maydha—Setelah mengirim CV, saya mendapat balasan berupa 31 pertanyaan dari Kak Vidi sebagaimana saya mengajukan pertanyaan kepadanya. Ada rasa puas menerima pertanyaan-pertanyaan tersebut karena dengan demikian saya pun bisa menilai kualitas Kak Vidi dari isi pertanyaan yang ia ajukan. Di sana ada pertanyaan yang menyinggung masa lalu saya yang masih jadi permasalahan sampai di fase ketika itu (konflik 1,5 tahun yang saya ceritakan di part 1 & 2). Saya tidak mau dirugikan, apabila saya terlanjur menghabiskan banyak waktu untuk menjawab semua pertanyaan itu kemudian pada akhirnya Kak Vidi tidak bisa menerima masa lalu saya. Maka, sebelum menjawab seluruh pertanyaan tersebut saya menawarkan untuk menjelaskan masalah saya terlebih dahulu. Entah apa yang ketika itu memenuhi isi kepalanya saat saya jelaskan konflik pelik dalam hidup saya. Singkat cerita, dia tidak keberatan untuk tetap melanjutkan proses ini. Dia menyatakan siap berdamai dengan masa lalu saya. Maka, saya pun menjawab seluruh pertanyaan darinya.


***


Vidi—Begitu mengirim 31 pertanyaan kepadanya, malam itu juga ia merespon dengan menjelaskan masalah yang sedang ia hadapi. Sebab, salah satu pertanyaan saya memang ada yang menyinggung tentang masa lalunya. Ia pun bercerita panjang kali lebar terkait masalah tersebut setelah saya memastikan hal ini bisa saya rahasiakan misalkan proses ta'aruf ini gagal. Setelah menyimak penjelasannya, saya tertegun. Ini masalah yang sangat serius. Dia bertanya pada saya. Setelah mengetahui konflik yang kini tengah ia hadapi, apakah saya masih mau melanjutkan proses? Ketika itu saya berpikir, bahwa setiap orang pasti memiliki masa lalu. Dan saya tidak menikahi masa lalu orang tersebut, melainkan yang akan saya nikahi adalah masa depannya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tetap lanjut.


Tanya Jawab Susulan


Maydha—Setelah Kak Vidi menerima jawaban dari saya atas seluruh pertanyaan yang ia ajukan, kami melanjutkan proses dengan saling melempar pertanyaan susulan. Saya pun mengajukan beberapa pertanyaan yang tertinggal belum sempat tercantum dalam 47 pertanyaan sebelumnya (di part 2) sekaligus menyampaikan pertanyaan-pertanyaan titipan dari orang tua saya.


***


Vidi—Beberapa hari kemudian, Maydha mengirim jawaban lengkap dari 31 pertanyaan yang saya ajukan. Saya membaca perlahan setiap kata yang ia tulis. Baris demi baris. Satu per satu jawaban saya baca tak terlewat satu karakter pun. Saya tersenyum dan merasa, bahwa dia benar-benar hampir memenuhi semua kriteria calon istri saya. Kemudian kami saling mengajukan beberapa pertanyaan susulan. Setiap pertanyaan dan jawaban Maydha semakin meyakinkan saya, bahwa dialah orangnya. Dia tulang rusuk saya. Saya benar-benar harus menyampaikan ini ke murobbi. Btw, sampai saat itu tidak ada yang tahu tentang proses ini. Murobbi, orang tua, serta teman-teman saya tidak ada yang tahu kecuali seorang teman sefakultas dan mentor Maydha di kampus (yang menjadi informan, saya ceritakan di part 1). Sebab memang seharusnya proses ta'aruf itu rahasia. Salah satu alasannya, agar tidak ada pihak yang dirugikan misal proses ta'aruf tersebut gagal. Sehingga tak ada pihak yang mungkin malu karena ditolak.


Berbeda Kendaraan Dakwah


Saat itu tingginya pandemi covid menyebabkan pertemuan liqo' saya terganggu. Jadi, belum ada kesempatan bagi saya untuk bertemu dan berbicara dengan murobbi. Sebenarnya saya masih ingin menyampaikan proses ini secara langsung. Tetapi saya merasa sulit untuk bertemu. Dua kali janjian. Keduanya juga batal. Saya tidak menyalahkan murobbi karena batal disebabkan alasan wajar. Akhirnya saya memutuskan untuk memberitahu beliau lewat pesan singkat WhatsApp. Alhamdulillah respon beliau sangat positif dan besoknya langsung mengajak untuk bertemu. 


Kami berbincang sore hari di pinggir pantai Kalaki. Duduk di salah satu bruga dengan diiringi semilir angin laut. Saya mendapat pesan dan saran yang positif dari beliau. Berdasar CV Maydha yang saya kirim, beliau mengatakan bahwa Maydha baik. Jujur menulis kelebihan dan kekurangannya di CV. Layak diterima. Tetapi, di akhir rentetan kalimat beliau menyampaikan hal yang membuat saya kaget. Beliau mengatakan keluarga Maydha sudah beda harokah. "Sebaiknya antum pikir-pikir lagi. Masih banyak akhawat lain yang seharokah. Akan sulit dalam rumah tangga jika berbeda 'kendaraan'. Atau antum pastikan dia akan ikut antum setelah menikah." Saat itu saya diam sejenak. Tersenyum, kemudian menjawab, "Ustaz, apapun jamaahnya selama dia memenuhi kriteria calon istri saya, hatta dia anak petinggi NASDEM, PDIP, dll, tetap akan saya pinang." Saya jawab demikian karena saya memang tidak mengkotakkan calon istri saya harus orang ini atau orang itu. Bagi saya berbeda pandangan, pilihan politik, dll dalam sebuah keluarga bukan masalah besar. Walaupun memang sebaiknya dalam satu keluarga memiliki pandangan yang sama. 


Beliau sedikit menunduk, kemudian meminta saya menanyakan satu hal lagi kepada Maydha untuk memastikan satu hal. Apakah setelah menikah Maydha bersedia ikut saya atau tetap ikut kedua orang tuanya? Saya paham pertanyaan ini berkaitan dengan jamaah. Saya tidak keberatan dengan hal itu. Memang sebaiknya diperjelas sejak awal. 


***


Maydha—Sejujurnya saya agak jengkel saat suatu malam Kak Vidi kembali menghubungi saya untuk mengajukan pertanyaan lagi. Masalahnya, apa yang dia pertanyakan sudah saya singgung sejak awal proses ta'aruf ini melalui 47 pertanyaan sebelumnya. Tapi, saya berusaha memaklumi karena ini memang persoalan sensitif. Adalah fakta bahwa kami berdua berbeda kendaraan dakwah. Tapi, sejak awal itu bukan persoalan besar untuk saya. Sebab, afiliasi yang menaungi Kak Vidi juga pernah menaungi keluarga saya. Terlebih saya dan keluarga sangat fleksibel menyikapi hal seperti ini. Toh, saya berprinsip bahwa tujuan saya bernaung dalam sebuah kendaraan dakwah itu untuk mencari ilmu. Selama sandaran tidak melenceng dari syariat Islam, maka saya welcome saja. Dan Kak Vidi pun memiliki prinsip yang sama dengan saya terkait hal ini.


***


Vidi—Pada malam hari saya kirim pesan WA ke Maydha dengan mengatakan ingin menanyakan satu hal lagi. Beberapa menit kemudian dia menjawab, "Kalo Kak Vidi banyak keraguan berhenti juga gapapa. Jangan membebani diri sendiri." Saya agak kesal saat membaca kalimat itu. "Hei. Proses udah sejauh ini, gampang banget dia nyaranin udahan." Saya berusaha tidak terbawa perasaan, kemudian membalas, "Justru dengan adanya pertanyaan ini untuk membuat saya semakin yakin. Bukankah apa-apa yang belum jelas, sebisa mungkin diperjelas sekarang? Agar tidak ada penyesalan atau konflik yang tidak diinginkan nantinya." Lalu ia menjawab, "Kalimat di atas hanya saran. Bukan penolakan. Silakan mau gimana pun saya OK." Dalam hati saya berkata, "Bener juga. Sial, gw dibalikin." Daripada semakin malu, saya langsung sampaikan saja titipan pertanyaan murobbi. Dia memberikan jawaban yang benar-benar membuat saya semakin yakin dengannya. "Saya akan mengikuti dimana letak surga saya berpijak. Setelah menikah bakti dan surga saya ada pada suami." 


Meyakinkan Orang Tua


Setelah pertanyaan itu terjawab, alhamdulillah saya memutuskan menerima Maydha. Keluarga Maydha pun menerima saya. Tinggal saya menyampaikan hal ini pada kedua orang tua saya. Saya sengaja menyampaikan pada kedua orang tua setelah saya benar-benar diterima oleh calon istri. Sebab, kedua orang tua saya awam mengenai proses ta'aruf atau semacamnya.


Cukup sulit menjelaskan pada kedua orang tua saya terkait hal ini. Pasalnya saya tidak pernah terdengar memiliki kedekatan dengan perempuan manapun. Apa jadinya jika tiba-tiba saya mengabarkan sudah memiliki calon istri dan siap menikah? Apalagi calon istri saya orang jauh. Sedangkan, kebiasaan di lingkup keluarga saya adalah menikah dengan orang yang tempat tinggalnya dekat satu sama lain. Kakak perempuan saya saja menikah dengan laki-laki yang hanya beda gang dengan rumah saya. Hal ini menjadi tantangan lebih bagi saya untuk menjelaskan pada kedua orang tua. Tetapi biar bagaimanapun hal ini tetap harus saya sampaikan. 


Malam setelah chat terakhir dengan Maydha, saya telpon Papa dan Mama. Saya awali dengan berbasa-basi menanyakan apa sudah ingin punya menantu lagi? Kemudian disusul dengan diskusi ringan yang sengaja saya arahkan ke tema pernikahan. Sebetulnya diskusi soal pernikahan ini sudah saya lakukan beberapa kali sejak awal ta'aruf dengan Maydha. Hingga muncul pertanyaan dari Mama, "Ngomongin nikah mulu. Emang udah ada calon?" Ini menjadi kesempatan emas untuk menyampaikan maksud saya yang sebenarnya. Papa dan Mama pun kaget bukan main. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa anak laki-lakinya sudah memiliki calon istri, bahkan sudah siap menikah. Tentu saja mereka menolak. Tidak siap. Ini terlalu mendadak bagi mereka. Apalagi saya dilihat belum memiliki cukup materi untuk melamar seorang gadis. Saya terus berusaha menjelaskan. Saya sampaikan, bahwa pihak perempuan tidak meminta apapun. Papa menyangkal, "Tapi rumahnya jauh, Pai. Nanti susah. Pasti butuh biaya lebih buat bawa keluarga. Belum lagi nanti Papa susah nengok cucu." Saya sangat memahami kekhawatiran Papa. Tapi saya merasa sanggup untuk membiayai transportasi dan sebagainya. Soal cucu, saya sampaikan bahwa menikah dengan siapapun, saya tetap akan tinggal jauh dari rumah karena pekerjaan. Malam itu perdebatan kami benar-benar alot. Papa dan Mama punya argumen untuk menolak. Tapi argumen keduanya sangat lemah. Itu hanya soal budaya, kebiasaan, dll yang menurut saya mudah untuk dipatahkan. Setelah memakan waktu sekian lama berdebat, akhirnya mereka setuju untuk menerima Maydha.


Pihak Perempuan yang Tidak Memberatkan


Salah satu faktor yang membuat Papa Mama akhirnya menerima proses super singkat antara saya dan Maydha, yaitu karena dari pihak Maydha benar-benar memudahkan saya dan keluarga. Tidak ada syarat atau nominal berapapun yang diminta pihak perempuan. Maydha hanya meminta mahar berupa emas batangan tanpa menentukan gramasinya yang penting tidak merendahkan. Saat itu Papa dan Mama sempat tidak percaya, sampai saya forward chat Maydha tentang permintaan mahar tersebut.


***


Maydha—Sedangkan, dari sisi saya tak ada kendala terkait izin dan penyampaian pada orang tua. Alhamdulillah memang Umi Abi sama-sama fleksibel dan tidak ingin memberatkan dari segi apapun. Beliau berdua juga tidak mengajukan persyaratan yang ribet. Sejak awal Umi Abi mengutamakan laki-laki yang baik agamanya dan memiliki kesadaran tanggung jawab sebagai imam rumah tangga.


Proses yang Singkat dan Pernikahan Sederhana


Proses ta'aruf kami sejak awal sampai clear terhitung genap sekitar 2 minggu. Saya sengaja tak ingin membuang waktu mengingat pengalaman kegagalan di masa lalu. Saya sudah muak dipermainkan keadaan berkali-kali. Jadi jika memang serius, seorang laki-laki yang bersungguh-sungguh tentu akan tegas tak menunda niat baik tersebut.


Sementara itu, rentang dari awal mulai ta'aruf sampai akad terlaksana genap 2 bulan (17 Juni - 17 Agustus 2021). Kami sama-sama menginginkan acara pernikahan sederhana. Apalagi di tengah situasi pandemi yang penuh dengan peraturan dan pembatasan dari pemerintah baik itu terkait akomodasi perjalanan, syarat nikah, dll. Ketika itu segala persiapan sangat singkat dan cepat. Bahkan kami melaksanakan lamaran dan pertemuan dua keluarga tepat H-1 akad nikah. Semua ini untuk meringkas pengeluaran dana dan waktu mengingat jatah cuti Kak Vidi yang terbatas. Lebih dari itu posisi masing-masing dari kami juga berjauhan dibentang beda 3 provinsi dari Kak Vidi di Bima (NTB), saya sekeluarga di Ngawi (Jawa Timur), & keluarga Kak Vidi di Tangerang (Banten). Bayangkan berapa dana yang harus kami rogoh untuk transportasi & berkali-kali test PCR jika melaksanakan lamaran dan akad di waktu yang berjauhan.


Tanggal Pernikahan yang Melanggar Adat Daerah


Jika teman-teman melihat dalam kalender Jawa, tanggal pernikahan kami diselenggerakan tepat pada bulan Muharram atau Suro. Hal ini sebenarnya melanggar pantangan adat Jawa. Dalam kepercayaan orang Jawa, menikah di bulan tersebut dapat mendatangkan musibah atau bencana. Tapi, saya dan keluarga sama sekali tidak terpengaruh dengan kepercayaan kuno semacam itu. Sebab, dalam Islam semua tanggal itu baik. Dan segala musibah yang terjadi di dunia ini sudah ada garis ketetapannya, bukan ditentukan berdasar penanggalan apapun itu. Meski waktu pernikahan kami—yang melanggar adat ini—sempat menjadi pertanyaan beberapa orang, alhamdulillah semua terlaksana lancar sampai akhir. Bahkan saya justru merasa banyak mendapat kemudahan dalam pelaksanaan di hari H. Mulai dari izin pendirian tenda, hasil test PCR negatif, lancarnya perjalanan rombongan suami sekeluarga, datangnya banyak bantuan dari berbagai pihak yang cukup meringankan beban keluarga saya, juga tertibnya tamu yang bersedia tidak mempublikasikan acara kami di sosmednya masing-masing saat itu (sebab peraturan terkait covid masih sangat ketat di daerah saya). Berkat menikah di bulan Suro tersebut, justru saya pun diuntungkan dengan mudahnya booking jasa dokumentasi & henna dadakan karena tak ada yang menggelar hajatan di tanggal tersebut selain keluarga saya. Hehehe..


Ketetapan Jodoh


Vidi—Jodoh memang misteri. Seandainya saya maju lebih awal, kemungkinan besar saya langsung ditolak karena Maydha masih sedang dalam masalahnya dan belum bisa move on. Pun seandainya saya maju agak telat, kemungkinan besar juga saya akan ditolak karena tepat beberapa hari setelah saya deal dengan Maydha, masalah seseorang yang melibatkan Maydha selama 1,5 tahun menemukan jalan keluar.


Selain itu belakangan saya juga baru tau, ternyata ada Maydha di antara akhawat yang saya hukum saat kegiatan di kampus (ada di part 1). Kejadian itu sampai membuat salah satu akhawat cedera sehingga meninggalkan kesan tidak enak pada mereka setiap saya mengingatnya. Jika saja sejak awal saya tahu, bahwa ada Maydha di kejadian itu, mungkin saja saya tidak berani mengajak Maydha ta'aruf karena rasa bersalah yang masih membelenggu saya.


***


Maydha—Jalan jodoh memang tak pernah salah alamat dan pasti datang di waktu yang tepat. Setelah menjalani proses sampai akad nikah terikrar, terjawab sudah pada akhirnya siapa yang ditetapkan menjadi jodoh saya. Bagaimana tidak, dengan cara-Nya Allah begitu memudahkan Kak Vidi yang berada di kejauhan sana untuk bisa mendapatkan saya. Jika bukan karena campur tangan Allah, bisa saja Kak Vidi didahului oleh orang lain tanpa adanya lockdown di kota orang tersebut (baca di part 2). Bahkan, hal yang lebih sulit dipercaya tapi menjadi fakta. Sosok di masa lalu saya telah menemukan jalan keluar masalahnya tepat beberapa hari setelah saya putuskan menerima Kak Vidi. Jika saya mendengar kabar baik itu sedikit lebih awal, tidak menutup kemungkinan saya akan menolak Kak Vidi demi kembali pada masa lalu saya.


Kesan Pesan


Vidi—Saya merasa proses ta'aruf kami berjalan cukup lancar. Dari awal kami sudah terbuka menjelaskan detail tentang diri kami masing-masing. Berbagai informasi yang dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan menerima calon pasangan sudah saling kami tanyakan dan mendapat jawaban sesuai yang diinginkan satu sama lain. Saya merasa terbantu dengan adanya 47 pertanyaan yang Maydha ajukan pada saya. Itu sangat memudahkan dalam menjelaskan lebih detail tentang diri saya. Setelah 6 bulan menikah, saya merasa tidak ada hal dari diri Maydha yang membuat saya kaget. Kami pun sudah saling menerima.


Saya sangat bersyukur memilih orang yang tepat. Selain karena Maydha sangat cocok dengan saya, keluarga Maydha juga sangat memudahkan proses kami. Bagaimana tidak? Keluarga Maydha bisa menerima saya, padahal saya belum pernah bertemu dengan mereka. Mereka juga tidak meminta persyaratan yang ribet. Semua serba mudah dan cepat.


***


Maydha—Proses ta'aruf saya dan suami sangat membuka mata, hati, dan pikiran saya terhadap lebih banyak hal. Sungguh, sebelumnya saya tidak terlalu percaya dengan statement Allah Maha membolak-balikkan hati. Namun, dalam ta'aruf ini saya benar-benar merasakannya sendiri. Begitu mudah bagi Allah membelokkan perasaan dan kecondongan hati saya dari masa lalu pada suami dalam waktu yang sepersekian singkatnya. Sebelum menjalani proses ini saya juga tak terlalu yakin dengan kekuatan istikhoroh, apalagi sebagai manusia yang merasa banyak maksiat saya merasa tidak layak mendapat jawaban melalui cara-cara semacam itu. Tapi, pada akhirnya saya percaya perihal benar adanya keajaiban istikhoroh melalui apa yang saya rasakan selama memohon petunjuk atas ta'aruf ini.


Pun terlepas dari apapun pendapat maupun pandangan orang lain, saya merasa tidak salah memilih jalan ta'aruf. Puluhan pertanyaan dalam bentuk surat pernyataan yang saling kami ajukan sangat membantu kami untuk terbuka satu sama lain. Sehingga, kini sejauh perjalanan pernikahan pasca akad nikah tak ada hal-hal yang membuat kami saling kaget.


Saya menerima Vidi Akhmad Rifai sebagai suami benar-benar murni karena dia adalah pilihan langsung dari Allah. Sejak awal bukan karena saya menaruh perasaan padanya. Bahkan beberapa orang tahu persis saya tidak menyukainya karena peristiwa hukuman saat kegiatan kampus (baca di part 1). Banyaknya hal-hal mengecewakan di masa lalu cukup membuat perasaan saya beku sehingga memasrahkan segala ketetapan pada Allah sepenuhnya. Maka, saat saya merasakan ketenangan hati walau tak menjatuhkan perasaan apapun pada sosok Vidi, juga ketika menyadari banyaknya kecocokan antara kami, sekaligus proses yang singkat, cepat, dan tak memakan banyak konflik sangat meyakinkan saya, bahwa Allah memang merestui pertalian kami. Itulah kenapa saya tak ragu untuk menerima pinangannya.


Pada akhirnya alhamdulillah, pilihan Allah memang tak pernah salah. In sya Allah suami saya benar-benar sosok yang tepat. Dia tak hanya memenuhi kriteria sebagai suami saya, namun lebih dari itu. Kehadirannya benar-benar menyembuhkan seluruh luka masa lalu saya.


Saat memutuskan menerima suami, saya pun menegaskan pada diri sendiri. Segala bentuk kekurangan tentangnya atau apa saja masalah dalam pernikahan kami yang akan saya temui di masa depan. Itu semua bukan kesalahan dari proses ta'aruf ini. Melainkan memang sudah jalan takdir yang ditetapkan untuk hidup saya. Lagipula, bukankah memang tak ada pernikahan yang sempurna di dunia ini?


Ucapan Terima Kasih


Kami sangat berterima kasih pada seluruh pihak yang memiliki andil dalam proses ta'aruf sampai terlaksananya akad nikah kami. Terkhusus pada Allah SWT yang memberikan restu dan rahmat-Nya sehingga menuntun kami pada pilihan terbaik & melancarkan segala sesuatunya sampai akhir. Terima kasih banyak untuk orang tua yang selalu mendampingi & memberi restu, para informan, sahabat yang memberi saran dan nasihat,  murobbi yang membimbing proses kami, petugas KUA yang sangat memudahkan pengurusan berkas (saat pandemi) & memberi ACC menikah di tanggal cantik, pihak yang memberi izin pendirian tenda, serta seluruh pihak yang penuh sukarela berkenan menyumbangkan waktu, tenaga, bahkan materi demi terlaksananya acara kami. Tentu saja, tidak lupa terima kasih kepada siapa pun yang tak lepas mendoakan kami walau dari jauh. Kami meyakini, bahwa doa-doa untuk kami berdua yang bergumul di langit sana adalah sebab terselenggaranya acara kami dengan lancar (walau di tengah pandemi dan terdapat beberapa masalah di belakang layar). Mohon maaf kami tidak bisa menyebutkan dengan detail satu per satu nama di sini. Semoga kebaikan selalu menyertai orang-orang baik seperti kalian.


Salam santun dari kami,

Al Ghumaydha' & Vidi Rifai

Sketsa Ketetapan - Antara Ego dan Ketetapan Hati

February 15, 2022 2 Comments

Terima kasih kepada teman-teman yang telah melapangkan sabar menunggu kelanjutkan tulisan ini. Pada kesempatan kali ini, perkenankan saya menegaskan sekali lagi. Segala prinsip yang kami sebutkan di sini bukan untuk kalian sepakati. Cukup ambil saja apapun yang menurut teman-teman baik. Tinggalkan segala sesuatu yang sekiranya tidak bermanfaat dari cerita ini.


Babak Pertama

 

Vidi—Malam itu saya benar-benar sulit tidur. Setelah memberikan alasan kenapa memilih dia, sungguh tak ada balasan apapun lagi dari Maydha. Bahkan keesokan pagi ketika bangun tidur saya langsung cek HP ternyata nihil. Tapi, saya tetap menunggu. Saya yang terbiasa mematikan HP ketika dicharge, kali ini tetap membiarkannya nyala. Berharap ia memberikan respon atas ajakan saya tadi malam.


Penantian satu malam yang terasa amat panjang itu berbuah juga pada akhirnya. Jam 10.03 WITA masuk pesan WhatsApp darinya yang meminta CV ta’aruf saya. Tanpa berpikir panjang saya langsung mengirimnya. Sebab sejak awal memang saya menawarkan CV terlebih dahulu untuk ia pelajari. Saat itu Maydha meminta waktu satu pekan untuk memberikan jawaban. Namun, setelahnya saya merasa hari-hari sepekan ke depan begitu panjang. Padahal baru satu hari saja saya menunggunya.


Sejak saat itu saya mulai membiasakan lagi bangun di keheningan malam. Berdoa tiap selesai sholat untuk memohon pasangan terbaik. Saya serahkan semuanya pada Allah. Hati saya tak mengharuskan sedikit pun agar Maydha’ yang menjadi jodoh saya. Saya hanya yakin, bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik untuk saya. "Ya Allah... Jika dia yang terbaik untuk hamba, lancarkanlah proses ini. Tetapi jika bukan, jauhkanlah. Hamba yakin Engkau pasti memberikan yang terbaik untuk Hamba."

 

***


Maydha—Saya sadar betul bahwa membuatnya menunggu balasan sampai semalam adalah sikap yang mengesalkan. Tapi saya juga tidak mengerti. Entah kenapa enggan sekali terburu membalas pesan itu. Mungkin lebih tepatnya saya sengaja mengulur waktu. Sebab saat itu saya benar-benar shock, tidak siap, berkecamuk, apalagi masih banyak hal dan luka-luka masa lalu yang belum selesai di dalam diri saya. Di samping itu, setidaknya saya juga butuh jeda waktu untuk menetralisir kekagetan saya agar tidak mengambil keputusan gegabah dengan langsung menolaknya. Saya berusaha mengumpulkan kewarasan penuh malam itu sampai pagi menjelang. Merenungkan baik-baik nasihat sahabat saya untuk coba memberi lelaki ini kesempatan. Maka, pagi itu saya mengabulkan dia mengirimkan CV ta’aruf terlebih dahulu. 


Begitu CV dikirim olehnya, tak menunggu lama langsung saya cek. Awalnya saya membaca tanpa antusias. Sebab di fase tersebut memang saya masih tak tertarik mengingat siapa itu Vidi Akhmad Rifai. Namun, semakin jauh saya pelajari CV ta'aruf miliknya kening saya berkerut. Perasaan panas dingin kembali menyerang tubuh. Saya merasa semua ini mustahil. Bagaimana tidak, hampir keseluruhan yang tertulis di sana cocok dengan diri saya. Saya merasa tertohok, hanya mampu memandang kosong file CV miliknya. Satu tingkat prasangka buruk saya tentangnya mulai memudar. Benar apa yang dikatakannya, bahwa banyak kesamaan di antara kami berdua. Tapi, tidak semudah itu bagi saya untuk menerima. Padahal sejak awal mengizinkan Kak Vidi mengirim CV ta'aruf, saya hanya ingin memastikan apakah benar pandangan & prinsip kami banyak kesamaan seperti yang sudah dia jelaskan di malam sebelumnya. Saya pikir itu omong kosong, sehingga saya yakin CVnya dengan mudah bisa saya tolak. Namun, nyatanya justru kian memporak-porandakan perasaan saya.


Empat Puluh Tujuh Pertanyaan


Alur ta'aruf pada umumnya jika saya merasa cocok semestinya mengirim balik CV. Namun, itu tidak berlaku untuk saya. Dari sekian banyak rasa sakit di masa lalu (termasuk kegagalan menikah sebelumnya), cukup mengajarkan saya untuk bertindak lebih hati-hati dan selektif. Pun tak sedikit saya belajar dari kisah-kisah pernikahan yang terjebak saat proses ta'aruf bagai membeli kucing dalam karung. Maka, saya tidak bersedia membiarkan siapa pun bisa dengan mudah masuk dalam ranah kehidupan saya. Termasuk salah satunya, tidak berkenan jika informasi CV ta'aruf milik saya diketahui sebelum saya memastikan sepenuhnya bahwa laki-laki tersebut memang layak saya terima. Tentu saja CV Kak Vidi saat itu belum cukup memuaskan saya. Sehingga saya mengajukan 47 pertanyaan seputar ilmu pernikahan, masalah rumah tangga, pendidikan anak, manajemen emosi, dll. Seluruh pertanyaan tersebut saya rumuskan sendiri selama 2 hari dengan didasari pengalaman rumah tangga teman-teman lain. Tak lupa saya meminta koreksi teman-teman yang sudah berumah tangga. Setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi salah satu ikhtiar saya untuk meminimalisir konflik rumah tangga di masa depan. Sebab, saya paham betul bahwa pernikahan tak seindah novel-novel romansa.


***


Vidi—Ternyata dua hari setelah saya mengirim CV, masuk pesan darinya. Saya lega karena ini lebih cepat dari waktu yang ia minta. Namun ketika saya buka pesan tersebut, ternyata bukan CV yang ia kirim. Melainkan 47 pertanyaan dalam bentuk surat pernyataan dengan tanda hitam di atas putih. Ya! EMPAT PULUH TUJUH PERTANYAAN. Saya tidak menyangka akan langsung diberondong pertanyaan sebanyak itu. Saat itu saya berpikir. Bukankah bertukar CV dahulu, kemudian saling bertukar pertanyaan. Hal yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah salah satu kalimat yang ia sampaikan saat mengirim 47 pertanyaan tersebut, "Jika Kak Vidi keberatan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan (sebelum melihat CV saya) berarti proses ini bisa kita cukupkan. Terima kasih." Ketika membaca pesan itu, saya berkata dalam hati, "Hei. Gampang banget dia nolak gw, klo gw ga mau jawab pertanyaannya sebelum liat CV dia. Kaya banyak aja laki-laki yang deketin dia." (Tapi belakangan saya baru tau, ternyata memang banyak laki-laki yang mendekati dia. Hehe 😅. Jadi malu.)


Ta’aruf Tanpa Perantara


Tapi di sisi lain saya juga berpikir, bahwa perempuan ini memang serius. Dia tidak mau sembarangan memberikan informasi tentang dirinya, sebelum dia tahu persis seluk beluk & isi kepala laki-laki tersebut. Kemudian saya membaca ulang satu per satu pertanyaannya. Saya paham, bahwa ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting seputar rumah tangga yang harus diajukan kepada calon pasangan. Namun, saya ragu jika langsung menjawab puluhan pertanyanaan tersebut. Sehingga saya meminta izin kepada Maydha untuk berkonsultasi ke murobbi terkait puluhan pertanyaan yang ia ajukan. Awalnya dia sangsi. Khawatir proses ini disalahkan oleh murobbi saya karena tidak memakai perantara. Sebab, justru dia ingin proses ini tanpa perantara, agar bisa menilai langsung saya dari komunikasi selama proses berlangsung. Hal ini membuat saya merasa semakin cocok dengannya karena saya pun berpikir demikian. Saya pikir adanya perantara dalam berkomunikasi saat proses ta'aruf bukan sebuah keharusan. 


***


Maydha—Sebagaimana yang dijelaskan oleh suami saya di atas. Benar bahwa saya tidak berkenan menerima adanya perantara dalam proses ta'aruf ini. Sebab, sejak dahulu saya sudah berprinsip tidak ingin dicampuri pihak ketiga dalam proses perkenalan dengan calon kecuali hanya berperan memberi masukan, saran, atau nasihat. Penting juga bagi saya mengenal orang tersebut melalui caranya berkomunikasi. Saya harus memastikan bahwa standar kecakapan komunikasi kami seimbang. Sebab, kunci penting dalam sebuah hubungan adalah komunikasi. Jangan mengharapkan hubungan harmonis jika dasar komunikasi satu sama lain tidak terbangun dengan apik. Saya tak menyangka jika saat itu Kak Vidi menyetujui permintaan berproses tanpa perantara. Justru dia sepakat dengan menegaskan, bahwa tidak ada aturan baku tentang adanya perantara dalam ta'aruf. Di samping itu tak masalah selama komunikasi terjaga tanpa ada percakapan mesra. Sungguh, pemikiran kami yang sama ini benar-benar di luar dugaan saya.

 

Lagipula proses ta’aruf ini di bawah pengawasan kedua orang tua saya. Tak ada sedikit pun yang saya sembunyikan dari Umi dan Abi sejak awal sampai akhir. Setiap update informasi apapun selalu saya sampaikan kepada beliau berdua untuk dibantu mempertimbangkan keputusan terbaik.

 

Kedatangan Lelaki Lain di Saat yang Sama


Setelah mengirimkan seruntun pertanyaan pada Kak Vidi, saya kembali dihujam kekalutan luar biasa. Dua sosok dari masa lalu pun datang menawarkan niat yang sama. Sungguh bencana, ketika itu hati saya masih berat pada salah satunya. Bodohnya, dia adalah seseorang yang membuat saya terkubang nestapa 1,5 tahun. Seseorang yang membawa serta saya pada biduk masalahnya seperti yang sudah saya jelaskan di tulisan part pertama. Sementara satu lagi seseorang berkarisma yang sedikit saya tahu latar belakangnya. Sosok berkualitas yang juga butuh pertimbangan jika harus ditolak. Agar beliau tak kecewa, ketika itu saya katakan bahwa saya tengah berproses dengan seseorang. Beliau yang memiliki niat sama hendak mendahului ke rumah saya. Namun, qodarullah kota tinggalnya tengah lockdown akibat pandemi covid saat itu. Sehingga ia tak bisa berbuat apapun.


Batas Tipis Antara Ujian dan Jawaban


Di antara hari-hari penuh kebimbangan, pada suatu petang saya menangis dengan hebat. Kepala terasa sakit. Sama sekali tak mampu memahami kenapa semua harus datang di saat bersamaan. Apalagi ketika saya memohon pada Allah agar berhenti mendatangkan siapa pun lagi. Justru Allah kembali mengirim sosok laki-laki yang bahkan tak pernah terpikirkan dalam benak saya. Saya marah dan meyakini bahwa semua laki-laki itu sekadar ujian bagi saya. Ketika itu saya merasa, bahwa Allah hanya sengaja ingin menguji sejauh apa saya bisa bertahan menjaga perasaan. Namun, satu-satunya sahabat yang sejak awal menjadi tumpuan cerita saya berkata, "Mid, coba kamu sadar. Gimana kalo ternyata semua ini bukan ujian? Gimana kalo justru ini jawaban dari Allah atas doa-doamu selama ini? Kamu mau bahagia, kan?"

 

Saya pun terhenyak sadar. Menenangkan diri, mengumpulkan kewarasan, dan merenungkan kata-kata sahabat saya. Benar, bahwa selain meminta dicukupkan atas kedatangan para lelaki itu. Doa saya yang lain adalah didatangkan sosok yang bersungguh-sungguh tanpa basa-basi. Dia yang mampu jadi gerbang penutup bagi tamu-tamu penasaran lainnya. Pada akhirnya perlahan saya mulai berdamai dengan perasaan sendiri.


Istikhoroh dalam Dilema


Meski demikian, kekalutan masih merajai segenap hati dan isi kepala. Saya tidak tahu bagaimana harus menentukan arah ketika hati masih memiliki kecondongan pada salah satu nama di masa lalu. Sedangkan sholat istikhoroh membutuhkan hati yang netral. Apalagi sadar diri, mengingat bahwa saya tidak merasa cukup sholehah. Lantas dari mana Allah akan memberikan jawaban atas doa-doa saya. Tapi, jalan sudah terasa buntu. Saya yang tak punya pilihan lain tetap menunaikkan istikhoroh selama dua hari berturut-turut. Terserah akan dapat petunjuk dari mana yang penting saya sudah ikhtiar. Ketika itu saya benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya pada Allah.


Kekurangan yang Mampu Saya Lengkapi


Tak lupa ikhtiar lain saya mencari informasi tentang Kak Vidi dari beberapa orang yang mengenalnya dengan baik. Apa yang saya dapat berdasar penelusuran cukup memberikan kesan positif. Sebagian besar info sesuai dengan isi CV ta'aruf Kak Vidi. Namun, bukan berarti para informan tak menyampaikan kekurangan beliau. Saya mencermatinya baik-baik, tidak semena-mena judge, namun menganalisis sedetail mungkin melalui diskusi dengan sahabat saya. Kekurangan beliau cukup bisa ditoleransi, masih dalam batas wajar, dan in sya Allah mampu saya lengkapi. Lagipula tak ada yang sempurna di dunia ini. Saya paham betul, bahwa pernikahan bukan dibangun atas dasar kesempurnaan. Namun, harus saling menerima & melengkapi kekurangan satu sama lain.


Antara Ego dan Kecenderungan Hati


Vidi—Setelah menerima 47 pertanyaan dari Maydha, saya menghubungi murobbi bermaksud mengajak beliau bertemu. Saya ingin konsultasi secara langsung. Qodarullah di hari janjian kami, murobbi saya berhalangan sehingga tidak bisa bertemu. Padahal saya terlanjur janji mengirim jawaban dalam 3 hari pada Maydha. Maka, saya memutuskan langsung menjawab puluhan pertanyaan tersebut dengan sangat hati-hati. Dari jawaban tersebut, saya ingin menjelaskan siapa saya dan bagaimana pola pikir saya sejelas mungkin. Sebab, saya tidak ingin ada penyesalan dari kedua belah pihak. Setelah rampung, saya membaca ulang setiap pertanyaannya dan jawaban saya. Begitu hati merasa yakin, saya kirim jawaban tersebut sehari sebelum batas waktu yang saya janjikan.


***


Maydha—Setelah hari-hari pelik, istikhoroh, dan pencarian informasi lebih mendalam. Kak Vidi mengirim jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan sehari lebih cepat dari deadline. Saya kaget dia mengirim secepat itu. Dia cukup membuat saya speechless dengan keseriusannya sampai di fase ini. Tak membuang waktu, langsung saya buka & baca file tersebut. Satu per satu jawabannya yang saya cermati sukses memantik adrenalin berpacu hebat. Untuk sesaat saya terkelu, membiarkan waktu berlalu dengan tatapan lurus kosong. Kemudian saya melihat lagi sekilas file tersebut, membaca ulang beberapa jawaban demi meyakinkan diri. Lagi dan lagi, isi kepala saya gaduh begitu hebat.


Keseluruhan jawaban yang Kak Vidi berikan untuk saya nyaris sempurna dan memuaskan. Banyak prinsip-prinsipnya sesuai dengan apa yang saya pegang. Secara karakter, tanggung jawab, kebiasaan, dan prinsip hidup ia sangat memenuhi kriteria laki-laki yang saya inginkan. Saya benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa seperti ini jadinya. Meski demikian, sebagian lain ego saya masih begitu tinggi. Tetap saja saya berpikir keras mencari celah untuk menolaknya. Rupanya separuh hati saya masih tertambat pada kisah di masa lalu sekaligus sulit sekali menerima fakta bahwa saya menerima pinangan seseorang yang saya benci. Ini sungguh konyol.


Biar Allah yang Menggagalkan Proses Ini


Demi meredakan gejolak hati, saya menghubungi teman lain yang juga sudah berumah tangga untuk meminta nasihat dan saran. Tentu saja beliau adalah seseorang yang dapat saya percaya. Saya ceritakan keseluruhan detail masalah-masalah saya sampai pada proses ta'aruf ini. Dengan penuh bijaksana beliau mengatakan, "Dek, mau seberjuang apapun menjaga komitmen jika memang tak jodoh maka akan tetap gagal pada akhirnya. Apalagi seseorang di masa lalumu belum bisa memberi kepastian sampai hari ini. Sedangkan sekarang ada laki-laki yang bersungguh-sungguh dan agamanya baik. Kamu juga merasa banyak kecocokan dengannya mulai dari CV sampai jawaban atas semua yang kamu pertanyakan. Lalu untuk alasan apa lagi menolak? Kirim balik CV ta'aruf kamu ke dia, ya."


Kemudian sahabat yang sejak awal mendampingi proses saya juga memberi penegasan, "Mid, jika memang proses ta'aruf ini harus gagal. Biar Allah yang menggagalkan dengan cara-Nya. Jangan kamu! Kalau kamu memilih mundur, berarti kamu yang menggagalkan proses ini. Sedangkan kalian ada banyak kecocokan, dia berhak mendapat respon balik. Jika kamu melanjutkan proses ini dan semuanya berhasil sampai akhir, maka berarti kalian memang berjodoh. Namun, jika kalian bukan jodoh pasti akan ada jalan yang menggagalkan proses kalian nantinya. Dan biarkan itu jadi urusan Allah, jangan kamu."


Dua nasihat di atas cukup menampar hebat kewarasan saya. Bismillah, maka saya putuskan mengirim balik CV ta'aruf untuk Kak Vidi.


Bersambung~


Sampai di titik ini apakah semua berlanjut dengan mulus? Apakah dengan saya mengirim CV ta’aruf berarti kami sudah saling menerima seutuhnya? Nyatanya tidak. Bahkan tak ada perasaan apapun dalam hati saya untuknya ketika itu. Kisah masa lalu saya yang masih tersisa belum tentu bisa diterima Kak Vidi. Bahkan murobbi Kak Vidi sempat memintanya untuk berpikir ulang karena kami berbeda kendaraan dakwah. Lalu, bagaimana kami mengatasi semua itu?


Berhubung tulisan ini sudah terlalu panjang, in sya Allah akan kami lanjutkan di part 3. Termasuk tentang bagaimana Kak Vidi meyakinkan kedua orang tuanya agar menerima proses ta’aruf yang tidak begitu dipahami kalangan awam. Juga perihal pernikahan kami yang terselenggara dalam waktu sangat singkat, bahkan melanggar pantangan adat & budaya.


Oh iya, jika di antara teman-teman ingin membaca 47 pertanyaan yang saya ajukan kepada Kak Vidi sebagai bahan referensi boleh, ya. Silakan langsung hubungi kami.


Terakhir, sekian sampai di sini. Terima kasih dan mohon maaf atas segala kata yang kurang berkenan 😊

Sketsa Ketetapan - Debar Sebuah Prolog

January 21, 2022 5 Comments

 


Bismillahirrohmanirrohiim ...


Akhirnya datang juga kesempatan saya mampu menggarap tulisan ini. Tentang bagaimana pertemuan saya dan suami yang menjadi pertanyaan beberapa teman di kampus. Sebab, mereka tahu persis kami tidak pernah ada gosip apapun. Justru, beberapa teman saya tahu bahwa saya memiliki pengalaman tak menyenangkan tentang seseorang yang kini menjadi suami saya. Adalah fakta, bahwa saya membenci Vidi Akhmad Rifai karena pernah menghukum saya dan teman-teman dengan cara squat jump dalam sebuah kegiatan. Itu cukup membuat saya muak dan kesal setiap mendengar namanya. Itulah kenapa saat kabar pernikahan kami tersiar, teman-teman saya terkejut bukan main.


 
 


Jujur saya bingung harus memulai dari mana. Sebenarnya, proses dan pertemuan kami sangat sederhana. Namun, justru proses singkat itu yang membuat rencana Allah terasa begitu pelik—khususnya bagi saya pribadi. Di samping itu, saya dihadapkan pada ujian dan pilihan-pilihan yang tak mudah. Baik sebelum dia datang maupun saat proses ta’aruf kami berlangsung. Nanti, suami saya juga akan turut melengkapi tulisan ini. Agar kita juga tahu penjelasan dari sudut pandang dia.


Sebelum bercerita lebih jauh saya ingin menegaskan beberapa hal. Pertama, saya menuliskan ini tanpa maksud apapun selain ingin berbagi. Sebab, sebagai pelaku saya merasa ada banyak hikmah yang bisa saya petik dari jalan pertemuan ini. Barangkali ada di antara teman-teman merasa terjebak pada situasi sama, kemudian mendapat pencerahan dari kisah ini. Kedua, dalam tulisan ini barangkali ada prinsip-prinsip saya yang tak sesuai dengan pembaca. Untuk ketidaksepakatan itu tolong cukup hargai saja tanpa mendebat apapun. Sungguh, setiap prinsip yang saya jelaskan bukan untuk mempropaganda siapa pun agar sepakat. Ketiga, segala bentuk kekhilafan dalam kisah ini mohon dimengerti oleh pembaca. Jangan berekspektasi tinggi sebab saya hanya manusia biasa yang sangat mungkin terjerembab dalam kesalahan. Jangan kalian tiba-tiba menjadi hakim menggantikan peran Tuhan.


Bagian yang membuat berat bagi saya menceritakan proses ini adalah keterlibatan beberapa nama—bahkan bagian kisah—yang tak mungkin saya sebutkan. Namun, dengan segala keterbatasan saya akan berusaha menjelaskannya tanpa mengurangi value utama dari kisah ini.


Dibelenggu Prahara Kebodohan Selama 1,5 Tahun


Pada akhir tahun 2019 saya pernah berproses dengan seseorang untuk menuju gerbang pernikahan. Namun, Allah memiliki rencana lain. Datang badai besar menghantam kebahagiaan yang hampir kami bangun. Ini masalah dari luar, bukan dari kami berdua. Juga bukan karena keluarga. Tidak juga disebabkan orang ketiga. Masalah yang terlalu pelik sehingga saya tak boleh menyebutkannya di sini. Badai yang tak pernah terbayangkan dalam hidup saya. Ujian yang meluluhlantahkan segenap harapan dan kekuatan saya. Tanpa perlu saya dramatisir di sini, cukup orang-orang terdekat saya saja yang tahu tentang betapa hancurnya saya saat itu.


Bodohnya, saya memilih bertahan untuk menunggu. Masih saja saya berharap pada sesuatu yang tak pasti. Bahkan saya menyakiti diri sendiri dengan melakukan pengorbanan yang barangkali tak sudi dilakukan oleh orang-orang normal kebanyakan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setiap harapan saya tentang apa yang ingin saya wujudkan dengan orang itu selalu dipatahkan keadaan. Siklus yang sama terus berulang tanpa jeda sampai tahun berganti. Saya terus tersakiti dalam penantian yang tak pasti. Sampai akhirnya awal tahun 2021 datang kesadaran ketika saya benar-benar merasa lelah.


Datang Para Lelaki Silih Berganti (April – Mei 2021)


Saat saya berusaha berdamai dengan keadaan sebelumnya, datang entah berapa banyak laki-laki kepada saya menyatakan atau sekadar menunjukkan ketertarikan. Sungguh, saya tak ingat ada berapa orang tepatnya. Entah mereka bertanya mahar, memberi perhatian saat keluarga saya sakit, basa-basi mengajak bertemu ibunya, dan semacamnya. Saya jenuh, tak peduli, dan merasa semua itu basi. Jika bersedia, bebas saja saya memilih salah satu di antara mereka. Tapi, kegagalan sebelumnya cukup membuat saya bersikap dingin dalam merespon hal-hal semacam itu.


Saya benar-benar sangat lelah dan ingin istirahat dari topik bernama pernikahan. Sialnya, justru selalu saja saya dihadapkan pada hal tersebut. Saya seperti terjebak dalam labirin. Sampai saya menangis dan sungguh mengiba pada Allah untuk menghentikan semuanya.


“Ya Allah, hamba mohon. Tolong cukup. Jangan lagi datangkan siapa pun untuk sekarang.”


Pesan Singkat Mendebarkan di Suatu Malam


Rabu, 16 Juni 2021 jam 21.01 WIB masuk pesan singkat dari nomor tak dikenal ke WhatsApp saya. Sebatas salam dan meminta konfirmasi apakah benar nomor yang ia hubungi milik Maydha. Saya jawab sebagaimana balasan kepada kontak-kontak lainnya. Saat itu tak terbesit kecurigaan apapun selain hanya mengira, bahwa mungkin orang ini hendak order dagangan saya atau pesan undangan nikah (kebetulan saya memang punya usaha undangan nikah, hehehe).

Selang dua menit kemudian dia mengirim balasan dengan memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud to the point tanpa basa-basi. Iya, benar orang ini order undangan nikah. Tapi jalur gratisan alias ngajak nikah ownernya, yaitu saya (ehehe candaaa). Dalam hitungan detik mendadak atmosfir ruangan berubah sesaat setelah bola mata saya menangkap kata demi kata dalam balasan tersebut. Punggung telapak kaki dan tangan terasa dingin, jantung berdegub lebih kencang dari seharusnya, perut mendadak mulas. Seketika pikiran saya kosong dan rotasi bumi seperti berhenti saat itu juga.


Puas senam jantung dadakan, saya buru-buru menyadarkan diri dari lamunan. Lalu berbuntut protes panjang dalam isi kepala saya. Ini siapa? Vidi? Vidi yang hukum aku waktu itu, kan? Bercanda kali. Serius? Yang bener? Apa-apaan ini? Aku, kan sebel sama dia. Apaan, sih. Dia, kan orang yang aku benci. Ga mungkinlah. Gila!


“Ya Allah, belum lama aku minta berhenti. Kenapa harus Engkau datangkan lagi? Bahkan dia seseorang yang sama sekali tidak aku suka.”  begitu protes saya dalam batin. Saya marah dan merasa dipermainkan oleh takdir.


Ketidaksukaan saya terhadap Kak Vidi dan diperkuat dengan kondisi saya yang saat itu belum berdamai dengan diri sendiri atas masa lalu membuat saya berpikir pendek untuk menolaknya. Namun, sisa kewarasan itu masih ada. Saya langsung menghubungi sahabat dekat dan meminta pendapat. Sahabat saya dengan begitu dewasa memberi saran, “Yakin mau langsung kamu tolak? Kenapa ga kasih kesempatan? Siapa tahu memang ini jawaban Allah atas doa-doamu selama ini, Mid.”


Otak waras saya bekerja setelah mendengar sederet kalimat darinya. Malam itu saya benar-benar dingin merespon Kak Vidi. Saya dengan tegas menyelidik tentang alasannya memilih saya. Setelah mendapat jawaban darinya, saya pergi tidur tanpa membalas apapun. Membiarkan dia bergulat dalam kebimbangan luar biasa sepanjang malam hingga tak nyenyak tidur. Iya, sejahat itu saya.


Sekarang, perkenankan suami saya menjelaskan dari sudut pandangnya tentang kenapa dan bagaimana akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada saya.


Mendamba dalam Kebisuan


Saya mengenal Maydha sebatas nama. Itu pun karena dia menjadi mentor dalam kegiatan mentoring kampus dimana saya sendiri aktif sebagai pengurus di Unit Mentoring tersebut. Kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi baik secara langsung maupun lewat sosmed. Namun, saya tahu dia seorang penulis.


Pada tanggal 11 Agustus 2020 kami berteman di Facebook. Ketika itu saya sudah lulus dari kampus. Sejak saat itu postingannya sering muncul di beranda saya. Beberapa postingannya membuat saya tertarik. Sampai suatu ketika saya membaca keluhannya tentang orang-orang yang lebih suka membaca tulisan receh dibanding karyanya—yang dia anggap—lebih bermutu. Saya pun mengernyitkan dahi dan berpikir, “Sebagus apa, sih tulisan dia?”


Akhirnya saya memberanikan diri komentar di postingan tersebut dan meminta link blog tulisan dia. Lucunya dia balas dengan kalimat, “Maaf, Kak. Tulisan saya bukan untuk orang-orang serius.” Saya menertawakannya dalam batin sebab pada faktanya saya orang slengekan. Intinya dia tidak mau memberikan link blognya kepada saya. Tetapi, keesokan harinya dia memposting kutipan tulisannya sembari menyertakan link blog di sana. Saya sempat membatin, “Kemarin saja sok jual mahal tidak mau memberi link. Giliran sekarang sengaja posting.” (Maaf, Maydha izin menyela untuk klarifikasi. Memang saat itu waktunya update blog. Saya kesel, ya Bapak Vidi kepedean begitu -_-) Tentu saja langsung saya klik link tersebut. Ketika itu saya membaca tulisan yang entah saya lupa judulnya apa. Baris demi baris kalimat saya baca dengan perasaan tak karuan. Saya tak mampu membohongi diri sendiri, bahwa hati saya seperti terasa patah. Pertama kali membaca tulisan tersebut saya langsung down. Sebab inti dari tulisan itu tentang dia yang sedang menunggu seseorang untuk serius kepadanya. Tentu saja saya yakin, bahwa seseorang tersebut bukan saya. Apalagi mengingat fakta, bahwa kami memang tak pernah terlibat dalam interaksi apapun. Bahkan tak saling mengenal satu sama lain. Lantas pada kemungkinan apa saya berhak menggantungkan harapan? Selain harus menerima kenyataan, bahwa seseorang yang dia maksud sudah pasti bukan saya.


Saya memutuskan untuk tidak lagi berharap memilikinya. Saya benar-benar mengubur harapan perihal dia. Berusaha berhenti mencari tahu segala hal tentangnya. Namun, takdir seperti mempermainkan perasaan saya. Saat saya berusaha tak mau peduli lagi, justru postingannya terlalu sering muncul di beranda Facebook saya. Anehnya saya tak juga mampu mengabaikan postingan-postingan itu. Bahkan saya mendapati sebagian pendapat dan pemikiran dia sepaham dengan saya. Fakta tersebut kian memperkeruh perasaan saya yang terombang-ambing. Tak bisa saya tampik, bahwa dia benar-benar memenuhi hampir semua kriteria istri yang saya inginkan. Bukan sirna perasaan saya. Justru semua hal yang saya temukan tentang dia membuat saya semakin tertarik kepadanya.


Kemudian saya mencoba berpikir lebih tenang & dewasa dalam mencerna tulisannya di blog. Bisa jadi tulisan-tulisan itu sekadar karya biasa, bukan murni curahan hatinya. Seperti halnya Tere Liye yang menulis cerita pembunuhan. Bukan berarti Tere Liye ingin membunuh seseorang. Berangkat dari situ saya kembali bersemangat untuk mencari tahu tentang dia. Meski ada banyak perempuan lain yang saya suka, namun kecenderungan hati saya pada sosok Maydha berbeda. Tak ada perempuan lain yang saya suka sampai saya harus merelakan waktu untuk stalking sosmednya. Sedangkan hampir tak ada postingan Maydha yang saya lewatkan. Menjadi rutinitas dalam jangka waktu tiap beberapa hari, sengaja saya buka profil Facebook dia untuk mengecek apakah ada postingannya yang terlewat. Namun, saat itu saya merasa belum siap menikah. Sehingga saya hanya bisa menyukainya dalam diam.


Pada hari raya ‘Idul Fitri 2021 (Mei 2021), saya didera pertanyaan dari paman dan bibi soal pasangan hidup. Saat itu saya hanya menjawab santai saja, tidak serius. Tetapi waktu terus berjalan, saya jadi memikirkan pertanyaan paman dan bibi. Lagi pula cepat atau lambat saya harus menikah. Saya bertanya kepada diri sendiri, “Apa gua udah siap nikah? Atau cuma pengen nikah?” Kemudian saya mempelajari apa perbedaan antara kedua hal tersebut. Berdasarkan apa yang saya pahami, saya pun merasa bahwa sepertinya saya sudah siap menikah. Pagi hari pada tanggal 16 Juni 2021 saya menghubungi salah satu teman sefakultas dan mentor Maydha saat di kampus untuk mengetahui tentang dia dari sudut pandang orang lain. Jawaban mereka membuat saya semakin yakin, bahwa Maydha memang pasangan yang tepat untuk saya. Kemudian siang harinya saya membuat CV ta’aruf.


Maydha adalah gadis pertama dan satu-satunya yang menjadi target ta’aruf saya saat itu. Berbekal rasa percaya diri yang seadanya saya merasa apa yang saya lakukan tergolong nekat. Namun, saya pikir lebih baik mencoba sekarang daripada didahului orang lain. Kalau pun pada akhirnya ditolak saya hanya perlu berhenti. Setidaknya saya tidak lagi dirundung kebimbangan tak pasti. Maka, saya bulatkan tekad pada malam hari masih di tanggal yang sama memberanikan diri mengajaknya ta’aruf.


Namun, nyatanya tidak mudah juga mengetik pesan singkat itu padanya. Hati saya gusar bukan main. Detak jantung berguncang tak karuan di luar normal. Satu kalimat tertulis, saya menghapusnya lagi. Terus berulang seperti itu sampai kepala saya menangkap ingatan tentang ikhtiar teman  yang berhasil mendapatkan jodohnya setelah ditolak berkali-kali. Akhirnya terkirimlah pesan WhatsApp itu.



Bukannya mereda, detak jantung saya berpacu lebih cepat tatkala menunggu balasannya. Begitu pesan balasan masuk, otak terasa beku untuk berbasa-basi. Saya langsung sampaikan niat baik padanya. Malam itu chat kami berakhir dengan jawaban saya atas pertanyaan kenapa saya memilih dia. Menit demi menit berlalu, pesan centang dua itu tak kunjung berubah warna biru. Pikiran saya terbang kemana-mana. Saya berpikir “Apa gua udah ditolak? Apa dia udah ada calon lain?” Saya pun memutuskan pergi tidur. Demi menunggu balasan Maydha, saya yang memiliki kebiasaan menonaktifkan smarthphone saat tidur kali ini membiarkan tetap nyala. Rupanya dia benar-benar tak membalas pesan saya malam itu. Saya pun sulit tidur. Tidak peduli sekeras apa berusaha memejamkan mata, otak saya tetap saja riuh dan hati begitu gaduh. 


***


Sampai di sini barangkali muncul beberapa pertanyaan dalam benak teman-teman. Kok, Kak Vidi hubungi Maydha langsung? Apa Kak Vidi mengajak ta’aruf tanpa perantara? Apakah itu bisa dibenarkan? Setelah itu bagaimana prosesnya sampai akhirnya menikah? Kenapa Maydha mau menerima padahal tidak menyukai Kak Vidi? 


Semua tidak cukup jika kami jelaskan dalam satu judul tulisan. Untuk sementara apa yang dapat kami jelaskan harus bersambung di paragraf ini. Jika setelah teman-teman membaca tulisan ini kemudian ada permintaan untuk melanjutkannya, maka kami akan update lewat tulisan berikutnya. Mohon maaf untuk segala kata yang kurang berkenan atau mengganggu. Semoga ada kebaikan yang bisa dipetik, silakan buang saja bagian-bagian buruknya.