Terima kasih kepada teman-teman yang telah melapangkan sabar menunggu kelanjutkan tulisan ini. Pada kesempatan kali ini, perkenankan saya menegaskan sekali lagi. Segala prinsip yang kami sebutkan di sini bukan untuk kalian sepakati. Cukup ambil saja apapun yang menurut teman-teman baik. Tinggalkan segala sesuatu yang sekiranya tidak bermanfaat dari cerita ini.
Babak Pertama
Vidi—Malam itu saya benar-benar sulit tidur. Setelah memberikan alasan kenapa memilih dia, sungguh tak ada balasan apapun lagi dari Maydha. Bahkan keesokan pagi ketika bangun tidur saya langsung cek HP ternyata nihil. Tapi, saya tetap menunggu. Saya yang terbiasa mematikan HP ketika dicharge, kali ini tetap membiarkannya nyala. Berharap ia memberikan respon atas ajakan saya tadi malam.
Penantian satu malam yang terasa amat panjang itu berbuah juga pada akhirnya. Jam 10.03 WITA masuk pesan WhatsApp darinya yang meminta CV ta’aruf saya. Tanpa berpikir panjang saya langsung mengirimnya. Sebab sejak awal memang saya menawarkan CV terlebih dahulu untuk ia pelajari. Saat itu Maydha meminta waktu satu pekan untuk memberikan jawaban. Namun, setelahnya saya merasa hari-hari sepekan ke depan begitu panjang. Padahal baru satu hari saja saya menunggunya.
Sejak saat itu saya mulai membiasakan lagi bangun di keheningan malam. Berdoa tiap selesai sholat untuk memohon pasangan terbaik. Saya serahkan semuanya pada Allah. Hati saya tak mengharuskan sedikit pun agar Maydha’ yang menjadi jodoh saya. Saya hanya yakin, bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik untuk saya. "Ya Allah... Jika dia yang terbaik untuk hamba, lancarkanlah proses ini. Tetapi jika bukan, jauhkanlah. Hamba yakin Engkau pasti memberikan yang terbaik untuk Hamba."
***
Maydha—Saya sadar betul bahwa membuatnya menunggu balasan sampai semalam adalah sikap yang mengesalkan. Tapi saya juga tidak mengerti. Entah kenapa enggan sekali terburu membalas pesan itu. Mungkin lebih tepatnya saya sengaja mengulur waktu. Sebab saat itu saya benar-benar shock, tidak siap, berkecamuk, apalagi masih banyak hal dan luka-luka masa lalu yang belum selesai di dalam diri saya. Di samping itu, setidaknya saya juga butuh jeda waktu untuk menetralisir kekagetan saya agar tidak mengambil keputusan gegabah dengan langsung menolaknya. Saya berusaha mengumpulkan kewarasan penuh malam itu sampai pagi menjelang. Merenungkan baik-baik nasihat sahabat saya untuk coba memberi lelaki ini kesempatan. Maka, pagi itu saya mengabulkan dia mengirimkan CV ta’aruf terlebih dahulu.
Begitu CV dikirim olehnya, tak menunggu lama langsung saya cek. Awalnya saya membaca tanpa antusias. Sebab di fase tersebut memang saya masih tak tertarik mengingat siapa itu Vidi Akhmad Rifai. Namun, semakin jauh saya pelajari CV ta'aruf miliknya kening saya berkerut. Perasaan panas dingin kembali menyerang tubuh. Saya merasa semua ini mustahil. Bagaimana tidak, hampir keseluruhan yang tertulis di sana cocok dengan diri saya. Saya merasa tertohok, hanya mampu memandang kosong file CV miliknya. Satu tingkat prasangka buruk saya tentangnya mulai memudar. Benar apa yang dikatakannya, bahwa banyak kesamaan di antara kami berdua. Tapi, tidak semudah itu bagi saya untuk menerima. Padahal sejak awal mengizinkan Kak Vidi mengirim CV ta'aruf, saya hanya ingin memastikan apakah benar pandangan & prinsip kami banyak kesamaan seperti yang sudah dia jelaskan di malam sebelumnya. Saya pikir itu omong kosong, sehingga saya yakin CVnya dengan mudah bisa saya tolak. Namun, nyatanya justru kian memporak-porandakan perasaan saya.
Empat Puluh Tujuh Pertanyaan
Alur ta'aruf pada umumnya jika saya merasa cocok semestinya mengirim balik CV. Namun, itu tidak berlaku untuk saya. Dari sekian banyak rasa sakit di masa lalu (termasuk kegagalan menikah sebelumnya), cukup mengajarkan saya untuk bertindak lebih hati-hati dan selektif. Pun tak sedikit saya belajar dari kisah-kisah pernikahan yang terjebak saat proses ta'aruf bagai membeli kucing dalam karung. Maka, saya tidak bersedia membiarkan siapa pun bisa dengan mudah masuk dalam ranah kehidupan saya. Termasuk salah satunya, tidak berkenan jika informasi CV ta'aruf milik saya diketahui sebelum saya memastikan sepenuhnya bahwa laki-laki tersebut memang layak saya terima. Tentu saja CV Kak Vidi saat itu belum cukup memuaskan saya. Sehingga saya mengajukan 47 pertanyaan seputar ilmu pernikahan, masalah rumah tangga, pendidikan anak, manajemen emosi, dll. Seluruh pertanyaan tersebut saya rumuskan sendiri selama 2 hari dengan didasari pengalaman rumah tangga teman-teman lain. Tak lupa saya meminta koreksi teman-teman yang sudah berumah tangga. Setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi salah satu ikhtiar saya untuk meminimalisir konflik rumah tangga di masa depan. Sebab, saya paham betul bahwa pernikahan tak seindah novel-novel romansa.
***
Vidi—Ternyata dua hari setelah saya mengirim CV, masuk pesan darinya. Saya lega karena ini lebih cepat dari waktu yang ia minta. Namun ketika saya buka pesan tersebut, ternyata bukan CV yang ia kirim. Melainkan 47 pertanyaan dalam bentuk surat pernyataan dengan tanda hitam di atas putih. Ya! EMPAT PULUH TUJUH PERTANYAAN. Saya tidak menyangka akan langsung diberondong pertanyaan sebanyak itu. Saat itu saya berpikir. Bukankah bertukar CV dahulu, kemudian saling bertukar pertanyaan. Hal yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah salah satu kalimat yang ia sampaikan saat mengirim 47 pertanyaan tersebut, "Jika Kak Vidi keberatan dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan (sebelum melihat CV saya) berarti proses ini bisa kita cukupkan. Terima kasih." Ketika membaca pesan itu, saya berkata dalam hati, "Hei. Gampang banget dia nolak gw, klo gw ga mau jawab pertanyaannya sebelum liat CV dia. Kaya banyak aja laki-laki yang deketin dia." (Tapi belakangan saya baru tau, ternyata memang banyak laki-laki yang mendekati dia. Hehe 😅. Jadi malu.)
Ta’aruf Tanpa Perantara
Tapi di sisi lain saya juga berpikir, bahwa perempuan ini memang serius. Dia tidak mau sembarangan memberikan informasi tentang dirinya, sebelum dia tahu persis seluk beluk & isi kepala laki-laki tersebut. Kemudian saya membaca ulang satu per satu pertanyaannya. Saya paham, bahwa ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting seputar rumah tangga yang harus diajukan kepada calon pasangan. Namun, saya ragu jika langsung menjawab puluhan pertanyanaan tersebut. Sehingga saya meminta izin kepada Maydha untuk berkonsultasi ke murobbi terkait puluhan pertanyaan yang ia ajukan. Awalnya dia sangsi. Khawatir proses ini disalahkan oleh murobbi saya karena tidak memakai perantara. Sebab, justru dia ingin proses ini tanpa perantara, agar bisa menilai langsung saya dari komunikasi selama proses berlangsung. Hal ini membuat saya merasa semakin cocok dengannya karena saya pun berpikir demikian. Saya pikir adanya perantara dalam berkomunikasi saat proses ta'aruf bukan sebuah keharusan.
***
Maydha—Sebagaimana yang dijelaskan oleh suami saya di atas. Benar bahwa saya tidak berkenan menerima adanya perantara dalam proses ta'aruf ini. Sebab, sejak dahulu saya sudah berprinsip tidak ingin dicampuri pihak ketiga dalam proses perkenalan dengan calon kecuali hanya berperan memberi masukan, saran, atau nasihat. Penting juga bagi saya mengenal orang tersebut melalui caranya berkomunikasi. Saya harus memastikan bahwa standar kecakapan komunikasi kami seimbang. Sebab, kunci penting dalam sebuah hubungan adalah komunikasi. Jangan mengharapkan hubungan harmonis jika dasar komunikasi satu sama lain tidak terbangun dengan apik. Saya tak menyangka jika saat itu Kak Vidi menyetujui permintaan berproses tanpa perantara. Justru dia sepakat dengan menegaskan, bahwa tidak ada aturan baku tentang adanya perantara dalam ta'aruf. Di samping itu tak masalah selama komunikasi terjaga tanpa ada percakapan mesra. Sungguh, pemikiran kami yang sama ini benar-benar di luar dugaan saya.
Lagipula proses ta’aruf ini di bawah pengawasan kedua orang tua saya. Tak ada sedikit pun yang saya sembunyikan dari Umi dan Abi sejak awal sampai akhir. Setiap update informasi apapun selalu saya sampaikan kepada beliau berdua untuk dibantu mempertimbangkan keputusan terbaik.
Kedatangan Lelaki Lain di Saat yang Sama
Setelah mengirimkan seruntun pertanyaan pada Kak Vidi, saya kembali dihujam kekalutan luar biasa. Dua sosok dari masa lalu pun datang menawarkan niat yang sama. Sungguh bencana, ketika itu hati saya masih berat pada salah satunya. Bodohnya, dia adalah seseorang yang membuat saya terkubang nestapa 1,5 tahun. Seseorang yang membawa serta saya pada biduk masalahnya seperti yang sudah saya jelaskan di tulisan part pertama. Sementara satu lagi seseorang berkarisma yang sedikit saya tahu latar belakangnya. Sosok berkualitas yang juga butuh pertimbangan jika harus ditolak. Agar beliau tak kecewa, ketika itu saya katakan bahwa saya tengah berproses dengan seseorang. Beliau yang memiliki niat sama hendak mendahului ke rumah saya. Namun, qodarullah kota tinggalnya tengah lockdown akibat pandemi covid saat itu. Sehingga ia tak bisa berbuat apapun.
Batas Tipis Antara Ujian dan Jawaban
Di antara hari-hari penuh kebimbangan, pada suatu petang saya menangis dengan hebat. Kepala terasa sakit. Sama sekali tak mampu memahami kenapa semua harus datang di saat bersamaan. Apalagi ketika saya memohon pada Allah agar berhenti mendatangkan siapa pun lagi. Justru Allah kembali mengirim sosok laki-laki yang bahkan tak pernah terpikirkan dalam benak saya. Saya marah dan meyakini bahwa semua laki-laki itu sekadar ujian bagi saya. Ketika itu saya merasa, bahwa Allah hanya sengaja ingin menguji sejauh apa saya bisa bertahan menjaga perasaan. Namun, satu-satunya sahabat yang sejak awal menjadi tumpuan cerita saya berkata, "Mid, coba kamu sadar. Gimana kalo ternyata semua ini bukan ujian? Gimana kalo justru ini jawaban dari Allah atas doa-doamu selama ini? Kamu mau bahagia, kan?"
Saya pun terhenyak sadar. Menenangkan diri, mengumpulkan kewarasan, dan merenungkan kata-kata sahabat saya. Benar, bahwa selain meminta dicukupkan atas kedatangan para lelaki itu. Doa saya yang lain adalah didatangkan sosok yang bersungguh-sungguh tanpa basa-basi. Dia yang mampu jadi gerbang penutup bagi tamu-tamu penasaran lainnya. Pada akhirnya perlahan saya mulai berdamai dengan perasaan sendiri.
Istikhoroh dalam Dilema
Meski demikian, kekalutan masih merajai segenap hati dan isi kepala. Saya tidak tahu bagaimana harus menentukan arah ketika hati masih memiliki kecondongan pada salah satu nama di masa lalu. Sedangkan sholat istikhoroh membutuhkan hati yang netral. Apalagi sadar diri, mengingat bahwa saya tidak merasa cukup sholehah. Lantas dari mana Allah akan memberikan jawaban atas doa-doa saya. Tapi, jalan sudah terasa buntu. Saya yang tak punya pilihan lain tetap menunaikkan istikhoroh selama dua hari berturut-turut. Terserah akan dapat petunjuk dari mana yang penting saya sudah ikhtiar. Ketika itu saya benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya pada Allah.
Kekurangan yang Mampu Saya Lengkapi
Tak lupa ikhtiar lain saya mencari informasi tentang Kak Vidi dari beberapa orang yang mengenalnya dengan baik. Apa yang saya dapat berdasar penelusuran cukup memberikan kesan positif. Sebagian besar info sesuai dengan isi CV ta'aruf Kak Vidi. Namun, bukan berarti para informan tak menyampaikan kekurangan beliau. Saya mencermatinya baik-baik, tidak semena-mena judge, namun menganalisis sedetail mungkin melalui diskusi dengan sahabat saya. Kekurangan beliau cukup bisa ditoleransi, masih dalam batas wajar, dan in sya Allah mampu saya lengkapi. Lagipula tak ada yang sempurna di dunia ini. Saya paham betul, bahwa pernikahan bukan dibangun atas dasar kesempurnaan. Namun, harus saling menerima & melengkapi kekurangan satu sama lain.
Antara Ego dan Kecenderungan Hati
Vidi—Setelah menerima 47 pertanyaan dari Maydha, saya menghubungi murobbi bermaksud mengajak beliau bertemu. Saya ingin konsultasi secara langsung. Qodarullah di hari janjian kami, murobbi saya berhalangan sehingga tidak bisa bertemu. Padahal saya terlanjur janji mengirim jawaban dalam 3 hari pada Maydha. Maka, saya memutuskan langsung menjawab puluhan pertanyaan tersebut dengan sangat hati-hati. Dari jawaban tersebut, saya ingin menjelaskan siapa saya dan bagaimana pola pikir saya sejelas mungkin. Sebab, saya tidak ingin ada penyesalan dari kedua belah pihak. Setelah rampung, saya membaca ulang setiap pertanyaannya dan jawaban saya. Begitu hati merasa yakin, saya kirim jawaban tersebut sehari sebelum batas waktu yang saya janjikan.
***
Maydha—Setelah hari-hari pelik, istikhoroh, dan pencarian informasi lebih mendalam. Kak Vidi mengirim jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan sehari lebih cepat dari deadline. Saya kaget dia mengirim secepat itu. Dia cukup membuat saya speechless dengan keseriusannya sampai di fase ini. Tak membuang waktu, langsung saya buka & baca file tersebut. Satu per satu jawabannya yang saya cermati sukses memantik adrenalin berpacu hebat. Untuk sesaat saya terkelu, membiarkan waktu berlalu dengan tatapan lurus kosong. Kemudian saya melihat lagi sekilas file tersebut, membaca ulang beberapa jawaban demi meyakinkan diri. Lagi dan lagi, isi kepala saya gaduh begitu hebat.
Keseluruhan jawaban yang Kak Vidi berikan untuk saya nyaris sempurna dan memuaskan. Banyak prinsip-prinsipnya sesuai dengan apa yang saya pegang. Secara karakter, tanggung jawab, kebiasaan, dan prinsip hidup ia sangat memenuhi kriteria laki-laki yang saya inginkan. Saya benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa seperti ini jadinya. Meski demikian, sebagian lain ego saya masih begitu tinggi. Tetap saja saya berpikir keras mencari celah untuk menolaknya. Rupanya separuh hati saya masih tertambat pada kisah di masa lalu sekaligus sulit sekali menerima fakta bahwa saya menerima pinangan seseorang yang saya benci. Ini sungguh konyol.
Biar Allah yang Menggagalkan Proses Ini
Demi meredakan gejolak hati, saya menghubungi teman lain yang juga sudah berumah tangga untuk meminta nasihat dan saran. Tentu saja beliau adalah seseorang yang dapat saya percaya. Saya ceritakan keseluruhan detail masalah-masalah saya sampai pada proses ta'aruf ini. Dengan penuh bijaksana beliau mengatakan, "Dek, mau seberjuang apapun menjaga komitmen jika memang tak jodoh maka akan tetap gagal pada akhirnya. Apalagi seseorang di masa lalumu belum bisa memberi kepastian sampai hari ini. Sedangkan sekarang ada laki-laki yang bersungguh-sungguh dan agamanya baik. Kamu juga merasa banyak kecocokan dengannya mulai dari CV sampai jawaban atas semua yang kamu pertanyakan. Lalu untuk alasan apa lagi menolak? Kirim balik CV ta'aruf kamu ke dia, ya."
Kemudian sahabat yang sejak awal mendampingi proses saya juga memberi penegasan, "Mid, jika memang proses ta'aruf ini harus gagal. Biar Allah yang menggagalkan dengan cara-Nya. Jangan kamu! Kalau kamu memilih mundur, berarti kamu yang menggagalkan proses ini. Sedangkan kalian ada banyak kecocokan, dia berhak mendapat respon balik. Jika kamu melanjutkan proses ini dan semuanya berhasil sampai akhir, maka berarti kalian memang berjodoh. Namun, jika kalian bukan jodoh pasti akan ada jalan yang menggagalkan proses kalian nantinya. Dan biarkan itu jadi urusan Allah, jangan kamu."
Dua nasihat di atas cukup menampar hebat kewarasan saya. Bismillah, maka saya putuskan mengirim balik CV ta'aruf untuk Kak Vidi.
Bersambung~
Sampai di titik ini apakah semua berlanjut dengan mulus? Apakah dengan saya mengirim CV ta’aruf berarti kami sudah saling menerima seutuhnya? Nyatanya tidak. Bahkan tak ada perasaan apapun dalam hati saya untuknya ketika itu. Kisah masa lalu saya yang masih tersisa belum tentu bisa diterima Kak Vidi. Bahkan murobbi Kak Vidi sempat memintanya untuk berpikir ulang karena kami berbeda kendaraan dakwah. Lalu, bagaimana kami mengatasi semua itu?
Berhubung tulisan ini sudah terlalu panjang, in sya Allah akan kami lanjutkan di part 3. Termasuk tentang bagaimana Kak Vidi meyakinkan kedua orang tuanya agar menerima proses ta’aruf yang tidak begitu dipahami kalangan awam. Juga perihal pernikahan kami yang terselenggara dalam waktu sangat singkat, bahkan melanggar pantangan adat & budaya.
Oh iya, jika di antara teman-teman ingin membaca 47 pertanyaan yang saya ajukan kepada Kak Vidi sebagai bahan referensi boleh, ya. Silakan langsung hubungi kami.
Terakhir, sekian sampai di sini. Terima kasih dan mohon maaf atas segala kata yang kurang berkenan 😊

Gemeesh banget 😍
ReplyDeleteSemoga bermanfaat 😆
Delete